Posted by Muhammad Thowil Afif
Update at Rabu, 24 Februari 2010

Tidak ada pilihan lain bagi film Merantau selain harus box office. Biaya produksi sangat besar dan prosesnya lumayan lama. Sebagai salah satu upayanya, film yang terinspirasi bela diri silat itu muncul di Festival Film Cannes di Prancis pekan ini.
Soal berapa biaya keseluruhan pembuatan film Merantau, Ario Sagantara (produser film yang disutradarai Gareth Huw Evans, pria asal Wales, Inggris, itu), belum bisa memastikan. Ario mengatakan, filmnya saat ini masih masuk tahap editing jelang mixing dan sedang dikurangi durasinya agar bisa sesuai dengan standar durasi film bioskop di Indonesia. “Sekarang durasi aslinya masih 215 menit. Coba kami kurangi menjadi 110 sampai 115 menit,” ujarnya bersama Evans dan Daiwanne P. Ralie, line producer, saat ditemui Jawa Pos di Plasa Senayan Jumat lalu (15/5).
Syuting film Merantau dilakukan di dua lokasi, Bukit Tinggi dan Jakarta, mulai 4 November 2008 hingga akhir Februari 2009. “Sangat lama. Ketika orang membuat film ada yang satu minggu, kami tidak. Sebab, kami tidak ingin asal jadi, tapi benar-benar yang berkualitas,” tandas Ario.
Jika film yang dibuat secara instan saja sudah menghasilkan uang sampai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, kata Ario, bisa dibayangkan berapa besar biaya pembuatan Merantau. “Maka, tidak ada pilihan lain, harus box office,” ucapnya.
Bahkan, barutrailerfilmnya saja, tim Merantau sudah memasarkan ke pasar internasional. “Kami coba Hongkong Film Mart. Kami juga kerja sama dengan Departemen Budaya dan Pariwisata serta agen distribusi internasional,” ulasnya.
Reaksi masyarakat film luar negeri ternyata positif. Hanya dengan membawa 30 DVD berisi trailer sepanjang tiga menit ditambah tiga potongan adegan, banyak pihak yang mendukung dan tertarik. “Ada beberapa negara yang tertarik, tapi belum deal, maka belum bisa saya sebut,” kata Ario.
Namun, Merantau patut berbangga. Filmnya diterima Festival Film Cannes dan menjadi satu-satunya film Indonesia yang diputar di sana. “Kami memang kenalkan dulu ke internasional, sejauh mana mereka tertarik dengan film kami,” terusnya.
Ario menambahkan, pihaknya sebenarnya juga sudah mengirim permohonan ikut serta ke beberapa negara untuk festival, seperti Festival Film Toronto. “Tapi, target kami Cannes, karena semua berpusat di sana. Di bioskop Indonesia jadwalnya 6 Agustus,” papar pria yang saat itu berkaus gambar Bruce Lee tersebut.
Pihaknya mengklaim, sudah sekitar 20 tahun di Indonesia tidak ada film aksi seperti Merantau. Kebetulan, Evans yang merangkap jabatan sebagai sutradara, penulis skrip, dan editor sudah mengenal silat sejak 2005. Sebab, dia pernah membuat film dokumenter tentang bela diri khas Indonesia itu.
Pada dasarnya, kata Evans, ide keseluruhan berawal pada 2007 ketika dirinya membuat film dokumenter tersebut. “Bagi saya (silat) ini mengagumkan,” tukasnya.
Evans merasa punya satu misi yang sama dengan Ario, Maya Evans (istrinya yang ikut terlibat di belakang layar), dan Anne (sapaan akrab Daiwanne) untuk membuat film yang berbeda agar masyarakat punya pilihan. “Kami mencoba membawa silat lebih universal dalam tema, cerita, dan karakter pemain. Sehingga, dari mana pun berasal, baik dari Amerika maupun Indonesia, Anda bisa memahami cerita dan karakter dengan baik,” tutur pria kelahiran 6 April 1980 itu.
Menurut Evans, silat memiliki karakter yang khas dan berbeda dari bela diri lain yang ada di dunia. “Gerakannya, cara menangkis, menendang, dan setiap bagiannya. Teknik mungkin bisa sama (dengan bela diri lain, Red), tapi tetap ada perbedaan,” jelasnya.
Film Enter the Dragon yang dibintangi Bruce Lee merupakan film aksi pertama yang dia tonton dan menjadi salah satu inspirasi dalam membuat film Merantau. “Dulu ayah saya juga sering mengajak menonton film pertarungan lain, seperti pertarungan dengan samurai,” ujar Evans.
Trairer
Link Alternatif
Part - Partan